Thursday, February 26, 2009

Usaha Peternakan Sapi Perah : Stagnan !!!

Usaha Peternakan Sapi Perah Stagnan 

Usaha peternakan sapi perah dewasa ini semakin bergairah, terutama setelah adanya kenaikan harga jual susu di tingkat peternak. Meskipun kenaikan tersebut belum memenuhi harapan peternak secara keseluruhan, paling tidak sudah memberikan secercah harapan bagi kelangsungan usaha peternakan sapi perah rakyat. Akibat kenaikan harga jual susu tersebut, maka secara tidak langsung berdampak pada meningkatnya harga komoditas sapi perah, baik di tingkat peternak, bandar maupun pasar hewan. Namun demikian, kenaikan harga sapi perah tersebut tidak dibarengi dengan kualitas sapi perah yang ada. Hal ini karena kurangnya kesadaran peternak untuk melakukan pencatatan (recording) secara baik. Akibat dari perkawinan yang acak-acakan serta recording yang buruklah, sehingga kualitas genetiknya jauh menurun.
Menurut beberapa peternak yang sudah berpuluh tahun menjalankan profesinya, kualitas sapi perah dewasa ini semakin berkurang. Jika dibandingkan sepuluh tahun yang lalu, umur produksi sapi perah saat ini jauh lebih rendah. Jika dulu sapi perah produktif mampu beranak hingga 7 kali, tapi saat ini 4-5 kali beranak sudah harus afkir karena kualitas dan kuantitas susu yang dihasilkan sudah jauh menurun. Meskipun dari tahun ke tahun harga sapi perah cenderung meningkat, ternyata tidak dibarengi oleh populasi yang memadai. Populasi sapi perah di level peternak dinilai oleh banyak kalangan stagnan, bahkan di beberapa kasus jumlahnya menurun dari waktu ke waktu. Dari sajian angka grafis statistik Direktorat Jenderal Produksi Ternak Departemen Pertanian yang tak sulit didapat menunjukkan, populasi sapi perah tahun 2001 sekitar 347.000 ekor dengan produksi 479.900 ton. Padahal pasar membutuhkan pasokan 693.000 ton untuk ekspor dan 1.262.900 ton untuk konsumsi. Maka mau tidak mau kekurangan tersebut diperoleh melalui keran impor, tak kurang dari 1.476.000 ton. Sementara itu, pada tahun 2004 populasi sapi perah 364.000 ekor dengan kapasitas produksi susu yang dihasilkan 550.000 ton, pasar membutuhkan pasokan untuk ekspor 461.200 ton dan untuk konsumsi 1.514.000 ton. Kekurangannya, sekitar 70% dipasok melalui keran impor tidak kurang dari 1.425.200 ton. Dari posisi angka-angka statistik tersebut orang akan segera tahu bahwa agroindustri persusuan di Indonesia jalan di tempat. Hal ini sangat menggemaskan, mengingat pasar domestik saja sudah sangat terbuka lebar.
Dari data-data di atas dapat kita ketahui bahawa produksi susu secara nasional sangat rendah, yakni hanya 26 % dari kebutuhan nasional. Hal tersebut sangat memprihatinkan, mengingat tingkat konsumsi bangsa Indonesia terhadap susu hanya 6 liter per kapita per-tahun masih jauh tertinggal apabila dibandingkan dengan negara lain. Padahal Malaysia bisa mencapai 60 liter, sementara Singapura 80 liter dan Thailand 40 liter per kapita per-tahun. Bahkan India yang terkesan sama kumuhnya dengan Indonesia, konsumsi susunya lebih dari 32 liter per kapita per-tahun.
Selama tiga dekade terakhir, laju permintaan susu memang meningkat sekitar 4,3 persen per-tahun, sementara peningkatan suplai susu 5 % per-tahun. Akan tetapi, apabila sekitar 74% dari suplai susu di dalam negeri berasal dari impor, maka hal tersebut tidak dapat meningkatkan nilai tambah industri dan kesejahteraan bagi peternak. Berdasarkan data Neraca Pangan dari Organisai Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) porsi susu yang berasal dari produk impor semakin besar, karena pada tahun 2002 peternak dalam negeri mampu memasok kebutuhan susu nasional sebesar 44% (Arifin, 2004) . Dari data tersebut dapat kita simpulkan bahwa kapasitas peternakan sapi perah di Indonesia semakin menurun, hal ini dapat dilihat dari produksi susu secara nasional.
Kenyataan tersebut di atas tidak akan berubah menjadi lebih baik apabila tidak dilakukan kembali penataan peternakan secara jelas dan terencana, salah satunya adalah penyediaan bibit sapi perah berkualitas yang selama ini seringkali dikeluhkan oleh para peternak. Beberapa waktu lalu tersiar kabar bahwa pemerintah akan mendatangkan sapi perah impor berkualitas dari Australia dan Selandia Baru, dengan harga per ekor yang mencapai lebih dari 3 kali lipat harga sapi perah lokal. Meskipun upaya tersebut merupakan langkah positif guna meningkatkan produksi susu secara nasional, dengan mendatangkan bibit berkualitas, namun alangkah lebih bijaksananya apabila kita menata terlebih dahulu peternakan yang sudah ada dengan melakukan inventarisasi sapi perah berkualitas yang ada di dalam negeri, khususnya pada peternakan sapi perah rakyat, toh dengan mendatangkan sapi perah impor belum tentu memecahkan masalah yang selama ini ada, karena belum tentu sapi-sapi impor tersebut mampu beradaptasi di sebagian besar wilayah Indonesia. Bukankah dahulu sapi-sapi peranakan FH (Frissien Holstein) yang ada di Indonesia saat ini didatangkan dari luar negeri juga? Seharusnya, dengan bibit sapi perah yang selama ini ada, kita upayakan kualitasnya lebih baik lagi, sesuai dengan iklim di Indonesia. Bukan hal yang mustahil, karena pada beberapa peternakan rakyat dapat ditemui sapi perah dengan produksi susu yang cukup bagus untuk ukuran nasional, yakni mampu menghasilkan susu 25-30 liter per-hari per ekor. Sementara dengan harga saat ini pada kisaran Rp. 3500 - Rp. 4000 per liter susu, titik impas berada pada produksi 12-15 liter per ekor (menurut penuturan sebagian besar peternak di Kecamatan Pamulihan, Kabupaten Sumedang).